Selasa, 13 November 2012

Riwayat IBNU SAB’IN



IBNU SAB’IN

"Dan para analis kesusahan menelisik lebih jauh siapa gerangan master atau guru bagi sang teosof kita, Ibnu Sab’in. Sebagian berpendapat ada tiga master yang dianggap sebagai guru Ibnu Sab’in, yaitu pertama, Ibn Daqqaq, yaitu Ibrahim bin al-Yusuf bin Muhammad bin al-Daqqaq al-Uwesy, yang terkenal disapa dengan Aby al-Ishaq atau Aby al-Mir’ah. Dia adalah seorang teolog yang cukup lama bermukim di Andalus, di mana pada waktu di Andalus, dia telah mengajar tentang teologi, tasawwuf, dan disiplin ilmu yang lainnya. Dia pindah ke Mursiya sampai wafatnya pada 611 H. (1214 M.—1215 M.), meninggalkan beberapa karya di antaranya, komentar atas Kitab al-Irsyad, Aby al-Ma’aly al-Juwaeni, komentar atas al-Asma’ al-Husna, komentar atas al-Mahasin al-Majalis, Aby al-‘Abbas Ahmad bin al-‘Aryf dan sejumlah karya yang lain. Kedua, Al-Buni, yaitu Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Ali Yusuf al-Qursy Muhyi al-Din. Dia adalah pakar dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf, wafat pada 622 H. (1225 M.), di mana dia telah berhasil menulis karya dalam bidang yang digelutinya, yaitu Syamsul al-Ma’arif wa al-Lathaif al-‘Awarif dan karya yang lain dalam bidang yang sama. Dan ketiga, al-Harani, yaitu Abu al-Hasan bin Ali bin Muh
ammad bin Ibrahim bin Muhammad al-Hurani, wafat pada 538 H., dia adalah seorang pakar dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf dan dia termasuk gurunya al-Buny." 
 La maujuda Illa Allah.
Ibnu Sab’in
   Sejarah Hidup
Ibnu Sab’in adalah Abd al-haq bin Ibrahim bin Muhammad bin Nashr bin Muhammad. Sang teosof kenamaan Andalus, yang telah dikenal di dunia Barat, Eropa, dengan jawaban-jawaban cerdas atas pertanyaan-pertanyaan seputar permasalahan filosofis yang telah diajukan oleh Frederic II, seorang raja Romawi. Ibnu Sab’in memiliki segudang jejuluk, di antaranya “Aby Muhammad”, di dunia Timur-Islam dikenal dengan “Qatb al-Dien”. Dia juga mendapatkan jejuluk yang telah disandarkan kepada nama negara kelahirannya, seperti “al-Andalusi”, dan disandarkan pada nama salah satu daerah yang ada di Andalus, seperti “al-mursiy”,  “Riqatiy”, “al-Isbiliy” dan “al-Qasthalani”. Akan tetapi jejuluk yang paling tenar dan banyak dipakai adalah “Ibnu Sab’in”.[1]
      Sudah barang tentu pasti ada anggapan yang terbersit di benak, Ibnu Sab’in adalah nama dan julukan yang cukup aneh dan sekaligus nyentrik. Secara pemaknaan literalisnya, Ibnu Sab’in adalah ‘Sang Anak Tujuh Puluh’. Namun hal ini adalah benar adanya jika kita menghindari dari anak dalam pemaknaan yang bersifat biologis. Mengapa dia dijuluki Ibnu Sab’in? Para ahli benganalisa, karena setiap menulis nama dengan menggunakan nama Abd al-Haq dan sambil ditulis sebuah lingkaran: O. Dan satu waktu namanya ditulis dengan nama “Ibn O” (Anak Lingkaran). Dan Firuz Abadi dalam al-Qamus al-Muhiyt mengatakan bahwa “Lingkaran” (=O) adalah sesuatu yang meliputi segala sesuatu seperti sebuah kawasan, yang menurut ilmu Huruf sama sebanding atau senilai dengan huruf ‘Ain yang senilai 70 (tujuh puluh). Jadi jika dia menulis namanya dengan “Ibnu O”=’Ain=Ibnu Sab’in (Anak Tujuh Puluh).[2] Dan dia juga disapa dengan Syekh al-Sab’iniyah, yang telah disandarkan pada nama tarekat yang didirikannya, yang diberinama oleh para pengikutnya dengan tarekat al-Sab’iniyyah.
      Para sejarawan berbeda pendapat mengenai tahun kelahirannya, yang masing-masing berpijak pada tahun kematiannya. Setidaknya ada tiga pendapat: pertama, Ibnu Syakir menyebutkan bahwa Ibnu Sab’in wafat pada 20 Syawal 668 H., pada usia 55 (lima puluh lima) tahun. Maka dari sini bisa dipastikan bahwa dia dilahirkan pada 613 H.. Banyak para orientalis yang mempunyai konsen pada bidang sejarah, khususnya seputar Ibnu Sab’in dan pemikirannya, yang mengamini pendapat ini, seperti Macdonald, dalam “Development of Muslim Theology, Jurisprudensi & Constitutional Theory”, Hernandez (Mijuel Cruz), dalam “Historia de las Filosofia Espanola, filosofia Hispano-Musulmana” dan Cabanellas (Dario), dalam “Federico II de siciliae Ibn Sabin de Murcia. Las “Questiones Sicilians”, Miscelanea de Estudios Arabes y hebriacos.[3]
      Kedua, sebagian sejarawan dan ahli biografi berpendapat bahwa Ibnu Sab’in wafat di Mekkah, pada 669 H., pada usia sekitar lima puluh tahun (50), sehingga bisa disimpulkan bahwa dia lahir pada sekitar 619 H.. Ketiga, Ibnu Sab’in wafat pada 667 H., pada usia 55 tahun, maka dipastikan dia lahir pada 612 H.. keempat, Ibnu Sab’in lahir sekitar pada 614 H. (1217 M./1218 M.). Dan dipertimbangkan dan dianalisa oleh Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, seorang pakar tasawuf-falsafi kebangsaan Mesir, bahwa pendapat yang keempat lah yang mendekati kebenaran. Ibnu Sab’in lahir tepatnya pada 614 H. (1217 M./1218 M.), di kota Mursiah, Andalus. Lahirnya Ibnu Sab’in, pada paruh awal abad ke-7 tepat pada masa akhir dinasti Muwahhidin berkuasa di Andalus.[4]
      Perjalan sejarah hidupnya sang teosof kita, Ibnu Sab’in, bisa kita bagi menjadi tiga fase dalam perjalanannya dari 614 H. sampai 669 H. Fase Pertama, pada 614 H. sampai sekitar 640 H.. Pada fase pertama ini, Ibnu Sab’in di Mursiyah, Andalus, telah belajar Bahasa Arab dan kesusastraannya kepada para master, dia juga belajar ilmu pengetahuan normatif-Agama (al-‘ulum al-naqliyyah) seperti tafsir, hadits, fiqh madzhab Maliki, dll, dan dia juga belajar ilmu-ilmu logika (al-‘ulum al-‘aqliyyah) seperti ilmu-ilmu para pendahulu (qudama) dan filsafat.[5] Dia mulai belajar dengan getol ilmu para pendahulu (al-awa’il/qudama), ilmu logika (mantik), teologi (al-ilahiyah), fisika dan eksakta yang termasuk golongan ilmu al-hikmah (wisdom/kebijaksanaan) atau biasa disebut dengan filsafat. Dia belajar teologi al-Asy’ariyyah dari para master yang beraliran al-As’ariyyah. Tidak ketinggalan, dia juga belajar bidang tasawuf dengan mendalam. Dan para sejarawan berpendapat bahwa, Ibnu Sab’in belajar ilmu kedokteran, kimia, ilmu nama-nama dan huruf.[6]
      Dan para analis kesusahan menelisik lebih jauh siapa gerangan master atau guru bagi sang teosof kita, Ibnu Sab’in. Sebagian berpendapat ada tiga master yang dianggap sebagai guru Ibnu Sab’in, yaitu pertama, Ibn Daqqaq, yaitu Ibrahim bin al-Yusuf bin Muhammad bin al-Daqqaq al-Uwesy, yang terkenal disapa dengan Aby al-Ishaq atau Aby al-Mir’ah. Dia adalah seorang teolog yang cukup lama bermukim di Andalus, di mana pada waktu di Andalus, dia telah mengajar tentang teologi, tasawwuf, dan disiplin ilmu yang lainnya. Dia pindah ke Mursiya sampai wafatnya pada 611 H. (1214 M.—1215 M.), meninggalkan beberapa karya di antaranya, komentar atas Kitab al-Irsyad, Aby al-Ma’aly al-Juwaeni, komentar atas al-Asma’ al-Husna, komentar atas al-Mahasin al-Majalis, Aby al-‘Abbas Ahmad bin al-‘Aryf dan sejumlah karya yang lain. Kedua, Al-Buni, yaitu Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Ali Yusuf al-Qursy Muhyi al-Din. Dia adalah pakar dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf, wafat pada 622 H. (1225 M.), di mana dia telah berhasil menulis karya dalam bidang yang digelutinya, yaitu Syamsul al-Ma’arif wa al-Lathaif al-‘Awarif dan karya yang lain dalam bidang yang sama. Dan ketiga, al-Harani, yaitu Abu al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad al-Hurani, wafat pada 538 H., dia adalah seorang pakar dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf dan dia termasuk gurunya al-Buny.   
      Kalau kita analisa lebih jeli adalah mustahil jika Ibnu Sab’in belajar secara langsung (talaqi) dengan ketiga guru yang telah di sebutkan di atas, karena melihat tahun kelahiran Ibn Sab’in pada 614 H., sementara Ibn al-Daqqaq wafat pada 611 H., al-Buni wafat pada 622 H. dan al-Hurani wafat pada 538 H.. Dan yang benar adalah bahwa Ibn Sab’in telah mempelajari semua karya ketiga master itu secara outodidak, belajar sendiri, dengan tanpa bertemu secara langsung dengan mereka, dan dia terpengaruh serta mengadopsi pemikiran-pemikirannya. Asumsi ini diperkuat oleh pernyataan salah satu murid Ibn Sab’in, komentator Risalah al-‘Ahd, yang menyatakan dengan jelas, bahwa gurunya (Ibnu Sab’in) telah menghasilkan atau menimba ilmu para pendahulu dengan murni mempelajari dari buku-buku karya mereka. Dan dikatakan bahwa “Ibnu Sab’in tidak tidur setiap malam demi mempelajari dan membolak-balikkan lembaran kertas yang berisi tiga puluh tulisan orang lain.”[7]
      Tidak berlebihan kalau ternyata Ibnu Sab’in telah terpengaruh oleh pemikiran para pendahulu yang karyanya telah dipelajarinya dengan baik. Dia terpengaruh oleh Ibnu al-Daqqaq dalam bidang teologi (ilmu kalam) dan disiplin ilmu Agama yang lainnya seperti fiqh dan tasawuf. Dan dia terpengaruh dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf dari karya-karyanya al-Buni dan al-Harani, serta dia juga mengadopsi secara empati disiplin tasawuf dan disiplin yang lainnya yang diusung oleh intelektual Andalus kuno.[8]
      Pada masa hidupnya, di Andalus, dia hidup di tengah keluarga yang muliya, ayahandanya adalah seorang hakim kota Mursiya, kakeknya adalah seorang ahli perhitungan dan kepemimpinan. Dia hidup dengan sangat sederhana, jauh dari hidup hedonis dan gelamor-mewah, telah meninggalkan ambisi akan jabatan-jabatan duniawi, dan sejak kecil penuh dengan nuansa ilmiah dan sufistik. Dia berhasil menulis, Badu al-‘Arief, sebuah karya yang monumental, yang ditulis pada usia lima belas tahun.[9]    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar