IBNU SAB’IN
"Dan
para analis kesusahan menelisik lebih jauh siapa gerangan master atau guru
bagi sang teosof kita, Ibnu Sab’in. Sebagian berpendapat ada tiga master yang
dianggap sebagai guru Ibnu Sab’in, yaitu pertama, Ibn Daqqaq, yaitu Ibrahim
bin al-Yusuf bin Muhammad bin al-Daqqaq al-Uwesy, yang terkenal disapa dengan
Aby al-Ishaq atau Aby al-Mir’ah. Dia adalah seorang teolog yang cukup lama
bermukim di Andalus, di mana pada waktu di Andalus, dia telah mengajar
tentang teologi, tasawwuf, dan disiplin ilmu yang lainnya. Dia pindah ke
Mursiya sampai wafatnya pada 611 H. (1214 M.—1215 M.), meninggalkan beberapa
karya di antaranya, komentar atas Kitab
al-Irsyad, Aby al-Ma’aly al-Juwaeni, komentar atas al-Asma’ al-Husna,
komentar atas al-Mahasin
al-Majalis, Aby al-‘Abbas Ahmad bin al-‘Aryf dan sejumlah karya
yang lain. Kedua, Al-Buni, yaitu Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Ali Yusuf al-Qursy
Muhyi al-Din. Dia adalah pakar dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf, wafat
pada 622 H. (1225 M.), di mana dia telah berhasil menulis karya dalam bidang
yang digelutinya, yaitu Syamsul
al-Ma’arif wa al-Lathaif al-‘Awarif dan karya yang lain dalam
bidang yang sama. Dan ketiga, al-Harani, yaitu Abu al-Hasan bin Ali bin
Muh
ammad bin Ibrahim bin Muhammad al-Hurani, wafat pada 538 H., dia adalah seorang pakar dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf dan dia termasuk gurunya al-Buny."
“La maujuda Illa Allah.”
Ibnu
Sab’in
Sejarah Hidup
Ibnu
Sab’in adalah Abd al-haq bin Ibrahim bin Muhammad bin Nashr bin Muhammad.
Sang teosof kenamaan Andalus, yang telah dikenal di dunia Barat, Eropa,
dengan jawaban-jawaban cerdas atas pertanyaan-pertanyaan seputar permasalahan
filosofis yang telah diajukan oleh Frederic II, seorang raja Romawi. Ibnu
Sab’in memiliki segudang jejuluk,
di antaranya “Aby Muhammad”, di dunia Timur-Islam dikenal dengan “Qatb
al-Dien”. Dia juga mendapatkan jejuluk
yang telah disandarkan kepada nama negara kelahirannya, seperti
“al-Andalusi”, dan disandarkan pada nama salah satu daerah yang ada di
Andalus, seperti “al-mursiy”, “Riqatiy”, “al-Isbiliy” dan
“al-Qasthalani”. Akan tetapi jejuluk
yang paling tenar dan banyak dipakai adalah “Ibnu Sab’in”.[1]
Sudah barang tentu pasti ada anggapan yang terbersit di benak, Ibnu Sab’in
adalah nama dan julukan yang cukup aneh dan sekaligus nyentrik. Secara
pemaknaan literalisnya, Ibnu Sab’in adalah ‘Sang Anak Tujuh Puluh’. Namun hal
ini adalah benar adanya jika kita menghindari dari anak dalam pemaknaan yang
bersifat biologis. Mengapa dia dijuluki Ibnu Sab’in? Para ahli benganalisa,
karena setiap menulis nama dengan menggunakan nama Abd al-Haq dan sambil
ditulis sebuah lingkaran: O. Dan satu waktu namanya ditulis dengan nama “Ibn
O” (Anak Lingkaran). Dan Firuz Abadi dalam al-Qamus
al-Muhiyt mengatakan bahwa “Lingkaran” (=O) adalah sesuatu yang
meliputi segala sesuatu seperti sebuah kawasan, yang menurut ilmu Huruf sama
sebanding atau senilai dengan huruf ‘Ain
yang senilai 70 (tujuh puluh). Jadi jika dia menulis namanya dengan “Ibnu O”=’Ain=Ibnu Sab’in (Anak
Tujuh Puluh).[2]
Dan dia juga disapa dengan Syekh al-Sab’iniyah, yang telah disandarkan pada
nama tarekat yang didirikannya, yang diberinama oleh para pengikutnya dengan
tarekat al-Sab’iniyyah.
Para sejarawan berbeda pendapat mengenai tahun kelahirannya, yang
masing-masing berpijak pada tahun kematiannya. Setidaknya ada tiga pendapat:
pertama, Ibnu Syakir menyebutkan bahwa Ibnu Sab’in wafat pada 20 Syawal 668
H., pada usia 55 (lima puluh lima) tahun. Maka dari sini bisa dipastikan
bahwa dia dilahirkan pada 613 H.. Banyak para orientalis yang mempunyai
konsen pada bidang sejarah, khususnya seputar Ibnu Sab’in dan pemikirannya,
yang mengamini pendapat ini, seperti Macdonald, dalam “Development of Muslim Theology,
Jurisprudensi & Constitutional Theory”, Hernandez (Mijuel
Cruz), dalam “Historia de
las Filosofia Espanola, filosofia Hispano-Musulmana” dan
Cabanellas (Dario), dalam “Federico
II de siciliae Ibn Sabin de Murcia. Las “Questiones Sicilians”, Miscelanea de Estudios Arabes y
hebriacos.[3]
Kedua, sebagian sejarawan dan ahli biografi berpendapat bahwa Ibnu Sab’in
wafat di Mekkah, pada 669 H., pada usia sekitar lima puluh tahun (50),
sehingga bisa disimpulkan bahwa dia lahir pada sekitar 619 H.. Ketiga, Ibnu
Sab’in wafat pada 667 H., pada usia 55 tahun, maka dipastikan dia lahir pada
612 H.. keempat, Ibnu Sab’in lahir sekitar pada 614 H. (1217 M./1218 M.). Dan
dipertimbangkan dan dianalisa oleh Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani,
seorang pakar tasawuf-falsafi kebangsaan Mesir, bahwa pendapat yang keempat
lah yang mendekati kebenaran. Ibnu Sab’in lahir tepatnya pada 614 H. (1217
M./1218 M.), di kota Mursiah, Andalus. Lahirnya Ibnu Sab’in, pada paruh awal
abad ke-7 tepat pada masa akhir dinasti Muwahhidin berkuasa di Andalus.[4]
Perjalan sejarah hidupnya sang teosof kita, Ibnu Sab’in, bisa kita bagi
menjadi tiga fase dalam perjalanannya dari 614 H. sampai 669 H. Fase Pertama,
pada 614 H. sampai sekitar 640 H.. Pada fase pertama ini, Ibnu Sab’in di
Mursiyah, Andalus, telah belajar Bahasa Arab dan kesusastraannya kepada para
master, dia juga belajar ilmu pengetahuan normatif-Agama (al-‘ulum al-naqliyyah)
seperti tafsir, hadits, fiqh madzhab Maliki, dll, dan dia juga belajar
ilmu-ilmu logika (al-‘ulum
al-‘aqliyyah) seperti ilmu-ilmu para pendahulu (qudama) dan filsafat.[5]
Dia mulai belajar dengan getol ilmu para pendahulu (al-awa’il/qudama), ilmu logika
(mantik), teologi (al-ilahiyah),
fisika dan eksakta yang termasuk golongan ilmu al-hikmah (wisdom/kebijaksanaan) atau biasa disebut
dengan filsafat. Dia belajar teologi al-Asy’ariyyah dari para master yang
beraliran al-As’ariyyah. Tidak ketinggalan, dia juga belajar bidang tasawuf
dengan mendalam. Dan para sejarawan berpendapat bahwa, Ibnu Sab’in belajar
ilmu kedokteran, kimia, ilmu nama-nama dan huruf.[6]
Dan para analis kesusahan menelisik lebih jauh siapa gerangan master atau
guru bagi sang teosof kita, Ibnu Sab’in. Sebagian berpendapat ada tiga master
yang dianggap sebagai guru Ibnu Sab’in, yaitu pertama, Ibn Daqqaq, yaitu
Ibrahim bin al-Yusuf bin Muhammad bin al-Daqqaq al-Uwesy, yang terkenal disapa
dengan Aby al-Ishaq atau Aby al-Mir’ah. Dia adalah seorang teolog yang cukup
lama bermukim di Andalus, di mana pada waktu di Andalus, dia telah mengajar
tentang teologi, tasawwuf, dan disiplin ilmu yang lainnya. Dia pindah ke
Mursiya sampai wafatnya pada 611 H. (1214 M.—1215 M.), meninggalkan beberapa
karya di antaranya, komentar atas Kitab
al-Irsyad, Aby al-Ma’aly al-Juwaeni, komentar atas al-Asma’ al-Husna,
komentar atas al-Mahasin
al-Majalis, Aby al-‘Abbas Ahmad bin al-‘Aryf dan sejumlah karya
yang lain. Kedua, Al-Buni, yaitu Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Ali Yusuf al-Qursy
Muhyi al-Din. Dia adalah pakar dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf, wafat
pada 622 H. (1225 M.), di mana dia telah berhasil menulis karya dalam bidang
yang digelutinya, yaitu Syamsul
al-Ma’arif wa al-Lathaif al-‘Awarif dan karya yang lain dalam
bidang yang sama. Dan ketiga, al-Harani, yaitu Abu al-Hasan bin Ali bin
Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad al-Hurani, wafat pada 538 H., dia adalah
seorang pakar dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf dan dia termasuk gurunya
al-Buny.
Kalau kita analisa lebih jeli adalah mustahil jika Ibnu Sab’in belajar secara
langsung (talaqi)
dengan ketiga guru yang telah di sebutkan di atas, karena melihat tahun
kelahiran Ibn Sab’in pada 614 H., sementara Ibn al-Daqqaq wafat pada 611 H.,
al-Buni wafat pada 622 H. dan al-Hurani wafat pada 538 H.. Dan yang benar
adalah bahwa Ibn Sab’in telah mempelajari semua karya ketiga master itu
secara outodidak, belajar sendiri, dengan tanpa bertemu secara langsung
dengan mereka, dan dia terpengaruh serta mengadopsi pemikiran-pemikirannya.
Asumsi ini diperkuat oleh pernyataan salah satu murid Ibn Sab’in, komentator Risalah al-‘Ahd, yang
menyatakan dengan jelas, bahwa gurunya (Ibnu Sab’in) telah menghasilkan atau
menimba ilmu para pendahulu dengan murni mempelajari dari buku-buku karya
mereka. Dan dikatakan bahwa “Ibnu Sab’in tidak tidur setiap malam demi
mempelajari dan membolak-balikkan lembaran kertas yang berisi tiga puluh
tulisan orang lain.”[7]
Tidak berlebihan kalau ternyata Ibnu Sab’in telah terpengaruh oleh pemikiran
para pendahulu yang karyanya telah dipelajarinya dengan baik. Dia terpengaruh
oleh Ibnu al-Daqqaq dalam bidang teologi (ilmu kalam) dan disiplin ilmu Agama
yang lainnya seperti fiqh dan tasawuf. Dan dia terpengaruh dalam bidang ilmu
nama-nama dan huruf dari karya-karyanya al-Buni dan al-Harani, serta dia juga
mengadopsi secara empati disiplin tasawuf dan disiplin yang lainnya yang
diusung oleh intelektual Andalus kuno.[8]
Pada masa hidupnya, di Andalus, dia hidup di tengah keluarga yang muliya,
ayahandanya adalah seorang hakim kota Mursiya, kakeknya adalah seorang ahli
perhitungan dan kepemimpinan. Dia hidup dengan sangat sederhana, jauh dari
hidup hedonis dan gelamor-mewah, telah meninggalkan ambisi akan
jabatan-jabatan duniawi, dan sejak kecil penuh dengan nuansa ilmiah dan
sufistik. Dia berhasil menulis, Badu
al-‘Arief, sebuah karya yang monumental, yang ditulis pada usia
lima belas tahun.[9]
|
Selasa, 13 November 2012
Riwayat IBNU SAB’IN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar