RIWAYAT HIDUP RABI’AH AL-ADAWIYAH
Masa Kelahiran Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu
al-Khair bin Isma’il al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir di Basrah
Iraqdiperkirakan pada tahun 95 H. Rabi’ah termasuk dalam suku Atiq yang silsilahnya
kembali pada nabi Nuh[1]. Ia diberi nama Rabi’ah yang berarti putri keempat karena
orang tuanya telah memiliki tiga orang putri sebelumnya[2].
Pada malam kelahirannya, sang ayah merasa sangat
sedih karena tidak mempunyai suatu apapun untuk menghormati kehadiran putrinya
yang baru itu. Bahkan minyak untuk menyalakan lampu pun tidak ada. Malam itu
sang ayah bermimpi kedatangan Nabi Muhammad SAW dan mengatakan kepadanya agar
jangan bersedih karena putrinya kelak akan menjadi seorang yang agung dan mulia[3].
Masa Kecil Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam ling
kungan keluarga biasa dengan kehidupan orang saleh yang penuh zuhud. Seperti anak-anak sebayanya Rabi’ah tumbuh dan dewasa secara wajar. Yang menonjol darinya ialah ia kelihatan cerdik dan lincah daripada kawan-kawannya. Tampak juga dalam dirinya pancaraan sinar ketakwaan dan ketaatan yang tiada dimiliki oleh teman-temannya. Ia juga juga memiliki keistimewaan lain yaitu kekuatan daya ingatnya yang telah dibuktikan dengan kemampuannyamenghafal al-Quran saat usianya 10 tahun.
kungan keluarga biasa dengan kehidupan orang saleh yang penuh zuhud. Seperti anak-anak sebayanya Rabi’ah tumbuh dan dewasa secara wajar. Yang menonjol darinya ialah ia kelihatan cerdik dan lincah daripada kawan-kawannya. Tampak juga dalam dirinya pancaraan sinar ketakwaan dan ketaatan yang tiada dimiliki oleh teman-temannya. Ia juga juga memiliki keistimewaan lain yaitu kekuatan daya ingatnya yang telah dibuktikan dengan kemampuannyamenghafal al-Quran saat usianya 10 tahun.
Pendidikan yang didapatkan Rabi’ah adalah
pendidikan informal yang diberikan oleh ayahnya secara langsung. Biasanya ia
dibawa ke sebuah mushalla yang jauh dari hiruk pikuk keramaian di pinggiran
kotaBasrah. Di sinilah ayah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan munajat,
berdialog dengan Sang Khalik. Di tempat yang tenang dan tenteram tersebut akan
mudah mencapai kekhusyukan dalam beribadah dan bisa mengkonsentrasikan
pemikiran pada keagungan dan kekuasaan Allah. Kondisi kehidupan keluarga
Rabi’ah yang saleh dan zuhud besar pengaruhnya bagi pendidikan putri kecil
tersebut[4].
Masa Remaja Rabi’ah al-Adawiyah
Masa remaja Rabi’ah dilalui tanpa kedua orang
tuanya, karena mereka telah meninggal dunia pada saat ia beranjak dewasa. Hal
itu menyebabkan kehidupan Rabi’ah dan kakak-kakaknya semakin parah kondisinya
sehingga memaksa mereka untuk meninggalkan gubuknya. Rabi’ah dan semua
saudaranya terpencar satu sama lain. Mereka berkelana ke berbagai daerah untuk
mencari penghidupan. Dalam pengembaraan ini, Rabi’ah jatuh ke tangan perampok
dan dijual sebagai hamba sahaya dengan harga yang murah, yaitu sebesar 6
dirham.
Kehidupan dalam belenggu perbudakan telah mengisi
lembar hidup Rabi’ah. Tuannya memperlakukannya dengan sangat bengis dan tanpa
perikemanusiaan. Tetapi Rabi’ah menjalaninya dengan sabar dan tabah. Shalat
malam tetap dilakukannya dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti
berdzikir, istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkannya.
Dan pada suatu malam, tuannya mendengar
rintihannya dan doanya. Hal ini sangat menyentuh hatinya hingga akhirnya ia pun
memerdekakannya. Setelah merdeka, kehidupan Rabi’ah tetap lurus dalam jalan dan
petunjuk AllahSWT. Dengan kebebasan yang diperolehnya, ia curahkan hidupnya di
masjid-masjid dan tempat-tempat pengajian agama. Ia kemudian menjalani
kehidupan sufi dengan beribadah dan merenungi hakikat hidup. Tidak ada
sesuatupun yang memalingkan hidupnya dari mengingat Allah[5].
Masa Dewasa Rabi’ah al-Adawiyah
Dalam perjalanan selanjutnya, kehidupan sufi
telah menjadi pilihannya. Rabi’ah menepati janjinya pada Allah untuk selalu
beribadah kepadaNya sampai menemui ajalnya. Ia selalu malakukan shalat tahajjud
sepanjang malam hingga fajar tiba. Rabi’ah tidak tergoda kehidupan duniawi,
hatinya hanya tertuju pada Allah, ia tenggelam dalam kecintannya pada Allah SWT
dan beramal demi keridlaanNya.
Rabi’ah telah menempuh jalan kehidupannya sendiri
dengan memilih hidup zuhud dan hanya beribadah kepada Allah. Selama hidupnya ia
tidak pernah menikah, walaupun ia seorang yang cantik dan menarik. Rabi’ah
selalu menolak lamaran lelaki yang meminangnya. Pangkat, derajat, dan kekayaan
tidak mampu memalingkan cinta pada kekasihnya Allah SWT[6].
Akhir Hayat Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah mencapai usia kurang lebih 90 tahun,
bukan semata-mata usia yang panjang, tapi merupakan waktu yang penuh berkah
hidup yang menyebar di sekelilingnya, suatu kehidupan yang menyebarkan bau
wangi yang semerbak ke daerah sekitarnya, bahkan sampai sekarang hikmah dari
ajaran-ajarannya masih dapat dirasakan.
Terdapat silang pendapat di kalangan ahli sejarah
tentang wafatnya Rabi’ah, baik mengenai tahun maupun tempat penguburannya.
Mayoritas ahli sejarahnya meyakini tahun 185 H sebagai tahun wafatnya,
sedangkan tempat penguburannya, mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa
kotakelahirannya sebagai tempat menguburkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar