1. Nirpartai (Non-Partisan)
Dalam sebuah sistem nirpartai, tidak ada partai politik yang eksis, dan
sering kali itu merupakan wujud dari peraturan perundangan yang melarang
adanya partai politik. Misalnya di dalam rezim monarki absolut,
diktatur personal, maupun pemerintahan militer. Namun, sistem nirpartai
tidak hanya terdapat dalam sistem otoritarian saja, tetapi di negara
liberal pun dapat terjadi gejala nirpartai.
Pemilihan umum dalam sistem nirpartai, dengan demikian, setiap
kandidatnya dipilih berdasarkan kualitas pribadinya sendiri. Dalam
legislatif nirpartai, tidak ada anggota dewan yang memiliki kaitan
dengan partai secara formal. Contohnya, pemerintahan di bawah pimpinan
George Washington di awal kemerdekaan Amerika Serikat, yakni di
sesi-sesi awal
Kongres AS bersifat nirpartai.
Washington juga menunjukkan penentangannya terhadap partai politik dalam
pidato perpisahannya. Legislatif unikameral di negara bagian Nebraska
adalah satu-satunya badan pemerintah negara bagian yang nirpartai di AS
dewasa ini. Banyak kota dan pemerintah kecamatan di AS juga bersifat
nirpartai. Di Canada, badan legislatif di Wilayah Barat-daya (Northwest
Territory) dan Nuvanut adalah nirpartai.
Pemilihan yang dan cara memerintah yang nirpartai biasanya di luar
lembaga negara. Terkecuali terdapat larangan undang-undang terhadap
pendirian partai, faksi-faksi di dalam sistem nirpartai kadang kemudian
berubah menjadi partai politik.
2. Ekapartai dominan (Single dominant party)
Dalam sistem ekapartai, satu partai politik saja yang secara sah
dibolehkan untuk memegang kekuasaan efektif. Meskipun partai-partai lain
yang kecil-kecil mungkin kadang-kadang diperkenankan eksis, mereka
disyaratkan secara legal untuk menerima kepemimpinan partai dominan
tersebut.
Partai ini bisa tidak selalu identik dengan pemerintah, walaupun kadang
posisi-posisi di dalam partai menjadi lebih penting ketimbang posisi di
dalam lembaga pemerintah. Negara komunis, seperti Cina sebagai
contohnya; lainnya terdapat di negara Fasis seperti Jerman jaman Nazi
(Hitler) antara 1933-1945. Sistem ekapartai (partai tunggal) dengan
demikian biasanya disetarakan dengan kediktatoran dan tirani.
Dalam sistem partai dominan, partai-partai oposisi diijinkan eksis, dan
boleh jadi sistem itu juga menerapkan tradisi demokratik secara
mendalam, namun partai-partai oposisi itu diatur sedemikian rupa agar
tak mempunyai kesempatan yang nyata untuk meraih kekuasaan. Kadang kala
kondisi politik, sosial, dan ekonomi, serta pendapat umum dijadikan
alasan bagi kegagalan partai-partai oposisi itu. Kadang pula ciri khas
di negara-negara dengan tradisi demokrasi yang lemah memungkinkan bagi
adanya partai dominan yang akan memegang kekuasaan secara terus-menerus
menggunakan patronase dan sering kali menggunakan kecurangan dalam
pemilihan umum. Pada kasus yang terakhir ini, perbedaan definisi antara
sistem partai tunggal (ekapartai) dengan partai dominan menjadi agak
kabur.
Contoh sistem partai dominan adalah People’s Action Party di Singapura
dan African National Congress di Afrika Selatan. Satu partai dominan
juga eksis di Mexico. Dengan Partido Revolucionario Institucional
(Institutional Revolutionary Party) sampai tahun 1990-an, di Amerika
Serikat bagian selatan, Partai Demokrat seperti itu pula dari abad ke-19
hingga tahun 1970-an, dan di Indonesia dengan Golongan Karya (Party of
the Functional Groups) dari awal tahun 1970-an sampai fajar era
reformasi 1998.
3. Sistem Dwipartai dominan (Two dominant parties)
Sistem dwipartai misalnya yang eksis di Amerika Serikat dan Jamaica
yakni di mana ada dua partai politik dominan sampai tahap tertentu
ketika dukungan bagi partai selain yang dua itu sangat sulit diperoleh.
Satu koalisi sayap kanan dan satu koalisi sayap kiri merupakan wujud
ideologi yang paling lazim di dalam sistem seperti itu tetapi di dalam
sistem dwipartai biasanya partai-partai politik secara tradisional
merupakan partai raih semua (catch-all party) yang ideologinya luas dan
terbuka.
Inggris Raya juga merupakan negara yang luas diakui bersistem dwipartai,
yang dalam sejarahnya kekuasaan bergilir antara dua kekuatan politik
utama (saat ini Partai Buruh dan Partai Konservatif), tetapi Partai
Demokrat Liberal dan sejumlah partai lain serta kelompok independen juga
mempunyai kursi di Parlemen Inggris.
Sistem pemilihan plural seperti di Amerika Serikat biasanya juga
menjadikan sistem dwipartai. Hal ini dikemukakan oleh Maurice Duverger
yang kemudian disebut sebagai hukum Hukum Duverger.[1]
4. Nekapartai (Multiple parties)
Sistem multpartai atau nekapartai adalah sistem kepartaian di dalam mana
antara lebih dari dua partai terjadi persaingan dalam kompetisi meraih
kekuasaan politik.
Canada, India, Republik Irlandia, dan Inggris Raya adalah contoh-contoh
di mana terdapat dua partai kuat, dengan sebuah partai ketiga yang dalam
pemilihan juga mendapatkan dukungan relatif kuat. Partai “ketiga” ini
bisa jadi kadang menjadi nomor dua dalam pemilihan umum, dan menampakkan
ancaman bagi kedua partai lainnya, tetapi masih saja tidak pernah
memimpin pemerintahan. Partai seperti itu khususnya berpengaruh ketika
dukungan atau penentangannya dapat meneruskan atau mengakhiri seuah
pemerintahan minoritas.
Finlandia merupakan kasus yang jarang, di mana sebuah bangsa dengan tiga
partai yang secara rutin sama-sama memegang pucuk pemerintahan. Sangat
jarang bagi sebuah negara memiliki lebih dari tiga partai yang semuanya
secara kasar memiliki kesempatan setara membentuk pemerintahan.
Sementara itu, Colombia secara tradisional memiliki sistem dwipartai
yang agak kaku, tetapi setelah pemilu tahun 2002, sistem kepartaiannya
mengalami perubahan penting.
Yang lebih lazim lagi, dalam kasus di mana terdapat tiga atau lebih
partai, yang tak satu partai pun dapat mencapai kekuasaan sendiri, dan
kemudian meraka bersama-sama membentuk pemerintahan koalisi. Ini
merupakan kecenderungan yang sedang naik daun di Republik Irlandia dan
hampir selalu seperti itu di Jerman pada level nasional dan negara
bagian, serta di sejumlah daerah. Gambaran yang sering muncul dari
peerintahan koalisi adalah rapuh dan mudah mengalami perubahan cepat dan
cenderung kurang stabil.
5. Sistem Nekapartai Berimbang (Balanced multiple party systems)
Sebuah studi yang luas dan melibatkan simulasi dan jajak pendapat oleh
Donald Arthur Kronos,[2] telah menunjukkan bahwa sistem dwipartai yang
efektif sebagaimana berlaku di Amerika Serikat saat ini dapat
dimodifikasi menjadi sistem pemilihan pluran berimbang melalui
penambahan pilihan “suara negatif” untuk secara lebih baik menunjukkan
niat para pemilih.
Ini berbeda dari sistem pengambilan suara baku atau sistem pemilihan
anti-pluralitas di mana lebih dari sekadar membolehkan pemilih memilih
siapa yang hendak didukung atau membolehkan memilih siapa yang tidak
didukung, menjadi sebuah sistem berimbang di mana pemilih dibolehkan
memilih siapa pun kandidat yang akan didukungnya dan siapa yang tidak
didukungnya. Dalam kasus pemilihan berkisaran (range voting) berimbang
seseorang pemilih dapat menentukan kombinasi suara mendukung dan menolak
darinya terhadap sispa pun kandidatnya.
Masalah yang ada dalam sistem pemilihan plural tradisional adalah bahwa
upaya apapun untuk mencegah seorang kandidat untuk terpilih cenderung
menghasilkan suatu nilai suara positif palsu, yakni umumnya bagi seorang
kandidat yang berpikir untuk memiliki posisi yang lebih menguntungkan
ketimbang kandidat lainnya, yang kemudian berupaya meningkatkan
keberuntungannya tersebut.
Suatu pemilihan plural berimbang akan membolehkan pemilih untuk
menunjukkan suara penolakan sejati (true negative vote), dengan demikian
dapat menghilangkan atau setidaknya mengurangi adanya suata positif
yang palsu. Suatu sistem nekapartai berimbang secara signifikan akan
mengurangi keanehan yang terjadi karena seorang kandidat yang dikenal
luas namun tidak populer (baca: tidak pro-rakyat) memenangi pemilihan,
dengan membolehkan siapa pun yang menentangnya untuk memberi suara yang
lebih tepat ketimbang memilih di dalam sistem tak berimbang yang hanya
mengijinkan suara dukungan saja atau penolakan saja.
Jumlah suara setiap pemilih bukanlah faktor dalam sistem yang
diseimbangkan, tetapi supaya adil seharusnya konsisten di dalam suatu
pemilihan yang diperuntukkan semua pemilih. Hal ini juga mempuyai efek
matematis untuk menghilangkan feedback loop (umpan balik berulang-ulang)
yang apabila tidak demikian akan memberikan sebuah keuntungan yang
tidak adil sepanjang waktu kepada kedua partai tersebut. Feedback loop
ini terjadi di dalam sistem pemilihan plural ketika seorang pemilih
berupaya menunjukkan suatu suara negatif (menolak kandidat tertentu)
namun yang tersedia hanya pilihan positif (mendukung kandidat tertentu).
Maka pemilih itu dipaksa untuk mengevaluasi pilihan-pilihan yang
tersedia dan menentukan apa yang paling baik untuk mengurangi keanehan
kemenangan kandidat yang ditentangnya. Sebagai contoh, karena sejarah
suatu partai mungkin memberi sejumlah indikasi kebisaterpilihan
(elektabilitas) seorang kandidat yang didukung oleh partai itu, maka
hal terdekat untuk menentangnya dalam pemilihan umum akan berupa suara
untuk kandidat partai tersebut yang diyakini oleh pemilih itu telah
menang di sebagian pemilihan umum dalam sejarahnya. Jika kandidat yag
ditentang itu maju di partai yang sama, maka pilihan yang jelas kandidat
partai berikutnya yang paling sering menang dalam sejarah pemilihan.
Hal ini menyebabkan hanya dua partai yang memiliki kelayakan untuk
dipilih sekali sejarah telah tercipta bagi mereka. Suatu sistem
pemilihan berimbang akan menghilangkan feedback loop ini dan akan
menguntungkan bagi pemilih. Konsep sistem pemilihan berimbang ini dapat
diterapkan untuk banyak tipe sistem pemilihan termasuk sistem pilihan
ganda dan dapat diterapkan pula untuk pilihan plural dan sistem
perwakilan proporsional.
[1] Maurice Duverger, “Factors in a Two-Party and Multiparty System,”
dalam Party Politics and Pressure Groups (New York: Thomas Y. Crowell,
1972).
[2] Lihat http://geocities.com/technozeus/voting.html dan http://sodahead.com/blog/6690/
sumber : http://bambangwn.wordpress.com/kuliah/kuliah-v/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar